Tuesday, February 26, 2008

8 Merek Ban Tidak Penuhi SNI

Selasa, 26/02/2008 16:28 WIB
8 Merek Ban Tidak Penuhi SNI
Suhendra - detikfinance

Jakarta - Sebanyak 8 merek ban motor dan mobil diduga tidak memenuhi
mutu Standar Nasional Indonesia (SNI) untuk ban. Ke-8 merek ban itu dicurigai
tidak memenuhi SNI setelah Departemen Perdagangan melakukan sidak
di Jalan Otista Jakarta Timur.


Merek ban tersebut antara lain Toyo, Falken, Michelin, Sime Tyres, Federal,
UD rubber, Duro dan Exella.


Demikian disampaikan oleh Direktur Pengawasan Barang Beredar dan
Jasa Ditjen Perdagangan Dalam Negeri Depadag Syahrul R. Sampurnajaya,
di Gedung Depdag, Selasa (26/2/2008).


"Untuk selanjutnya kita akan bawa ke labotorium untuk membuktikannya,
kalau memang terbukti tidak penuhi SNI maka kita akan panggil importirnya," katanya.


Upaya sidak ini menurutnya sebagai tanggung jawab Depdag sebagai pengawas
perdagangan di dalam negeri. Setelah mendapat laporan dari masyarakat soal
keberadaan ban-ban yang tidak berstandar.


"Memang kita enggak mungkin awasi semua, karena kita memiliki keterbatasan
tapi setidaknya langkah ini bisa mengurangi ban yang tidak berstandar," paparnya.


Dari hasil sidak ini berhasil disita 20 unit ban dari berbagai merek dan ukuran,
termasuk dua ban motor. Setelah dilakukan pemantauan dan pemeriksaan terhadap 5 toko.
Diantaranya toko Sinar Jaya Prima, PD Anugrah, Tri Jaya Ban, Usaha Jaya dan Blory Motor Sport.

(hen/ddn)

Monday, February 18, 2008

2 Manusia Super di Jembatan Setiabudi

From: "Putriana Dewi"
Date: Mon, 18 Feb 2008 18:46:34 +0700

Subject: 2 Manusia Super di Jembatan Setiabudi

Tanpa disadari terkadang sikap apatis menyertai saat langkah kaki mengarungi tuk coba taklukkan ibukota
negri ini. Semoga kita selalu diingatkan. Sekedar berbagi cerita di forum orang orang super dalam keindahan hari ini:

Siang ini February 6, 2008, tanpa sengaja, saya bertemu dua manusia super. Mereka mahluk-mahluk kecil,
kurus, kumal berbasuh keringat. Tepatnya di atas jembatan penyeberangan setia budi, dua sosok kecil berumur kira-kira delapan tahun menjajakan tissue dengan wadah kantong plastik hitam. Saat menyeberang untuk makan siang mereka menawari saya tissue di ujung jembatan, dengan keangkuhan khas penduduk Jakarta saya hanya mengangkat tangan lebar lebar tanpa tersenyum yang dibalas dengan sopannya oleh mereka dengan ucapan "Terima kasih Oom!". Saya masih tak menyadari kemuliaan mereka dan cuma mulai membuka sedikit senyum seraya mengangguk ke arah mereka.

Kaki-kaki kecil mereka menjelajah lajur lain di atas jembatan, menyapa seorang laki-laki lain dengan tetap berpolah seorang anak kecil yang penuh keceriaan, laki-laki itupun menolak dengan gaya yang sama dengan saya, lagi-lagi sayup-sayup saya mendengar ucapan terima kasih dari mulut kecil mereka. Kantong hitam tampat stok tissue dagangan mereka tetap teronggok di sudut jembatan tertabrak derai angin Jakarta.
Saya melewatinya dengan lirikan ke arah dalam kantong itu, duapertiga terisi tissue putih berbalut plastik transparan.

Setengah jam kemudian saya melewati tempat yang sama dan mendapati mereka tengah mendapatkan pembeli seorang wanita, senyum diwajah mereka terlihat berkembang seolah memecah mendung yang sedang manggayut langit Jakarta.

"Terima kasih ya mbak, semuanya dua ribu lima ratus rupiah!" tukas mereka, tak lama si wanita merogoh
tasnya dan mengeluarkan uang sejumlah sepuluh ribu rupiah.

"Maaf , nggak ada kembaliannya.. ada uang pas nggak mbak?" mereka menyodorkan kembali uang tersebut. Si wanita menggeleng, lalu dengan sigapnya anak yang bertubuh lebih kecil menghampiri saya yang tengah mengamati mereka bertiga pada jarak empat meter.

"Oom boleh tukar uang nggak, receh sepuluh ribuan?" suaranya mengingatkan kepada anak lelaki saya yang seusia mereka, sedikit terhenyak saya merogoh saku celana dan hanya menemukan uang sisa kembalian food court sebesar empat ribu rupiah.

"Nggak punya, tukas saya" lalu tak lama si wanita berkata "ambil saja kembaliannya dik" sambil berbalik
badan dan meneruskan langkahnya ke arah ujung sebelah Timur.

Anak ini terkesiap, ia menyambar uang empat ribuan saya dan menukarnya dengan uang sepuluh ribuan
tersebut dan meletakkannya ke genggaman saya yang masih tetap berhenti, lalu ia mengejar wanita tersebut
untuk memberikan uang empat ribu rupiah tadi. Si wanita kaget, setengah berteriak ia bilang "sudah buat kamu saja, nggak apa-apa ambil saja!", namun mereka berkeras mengembalikan uang tersebut, "maaf mbak,
cuma ada empat ribu, nanti kalau lewat sini lagi saya kembalikan". Akhirnya uang itu diterima si wanita karena si kecil pergi meninggalkannya.

Tinggallah episode saya dan mereka, uang sepuluh ribu di genggaman saya tentu bukan sepenuhnya milik
saya. Mereka menghampiri saya dan berujar "Om, bisa tunggu ya, saya ke bawah dulu untuk tukar uang ketukang ojek!".

"eeh, nggak usah.. nggak usah.. biar aja.. nih" saya kasih uang itu ke si kecil, ia menerimanya tapi terus berlari ke bawah jembatan menuruni tangga yang cukup curam menuju ke kumpulan tukang ojek.

Saya hendak meneruskan langkah tapi dihentikan oleh anak yang satunya, "Nanti dulu Om, biar ditukar dulu.. sebentar".

"Nggak apa-apa, itu buat kalian" lanjut saya.

"Jangan.. jangan Om, itu uang om sama mbak yang tadi juga" anak itu bersikeras.

"Sudah.. saya Ikhlas, mbak tadi juga pasti ikhlas!" saya berusaha membargain, namun ia menghalangi saya
sejenak dan berlari ke ujung jembatan berteriak memanggil temannya untuk segera cepat, secepat kilat juga ia meraih kantong plastik hitamnya dan berlari ke arah saya.

"Ini deh om, kalau kelamaan, maaf.." ia memberi saya delapan pack tissue.

"Buat apa?" saya terbengong.

"Habis teman saya lama sih Om, maaf, tukar pakai tissue aja dulu", walau dikembalikan ia tetap menolak.

Saya tatap wajahnya, perasaan bersalah muncul pada rona mukanya. Saya kalah set, ia tetap kukuh menutup
rapat tas plastic hitam tissuenya. Beberapa saat saya mematung di sana, sampai si kecil telah kembali dengan genggaman uang receh sepuluh ribu, dan mengambil tissue dari tangan saya serta memberikan uang empat ribu rupiah.

"Terima kasih Om!".. mereka kembali ke ujung jembatan sambil sayup sayup terdengar percakapan "Duit
mbak tadi gimana?" suara kecil yang lain menyahut "lu hafal kan orangnya, kali aja ketemu
lagi ntar kita kasihin..." percakapan itu sayup-sayup menghilang, saya terhenyak dan kembali ke kantor
dengan seribu perasaan.

Tuhan.. hari ini saya belajar dari dua manusia super, kekuatan kepribadian mereka menaklukan Jakarta membuat saya trenyuh, mereka berbalut baju lusuh tapi hati dan kemuliaannya sehalus sutra, mereka tahu hak mereka dan hak orang lain, mereka berusaha tak meminta-minta dengan berdagang Tissue.
Dua anak kecil yang bahkan belum baligh, memiliki kemuliaan di umur mereka yang begitu belia.

YOU ARE ONLY AS HONORABLE AS WHAT YOU DO

Engkau hanya semulia yang kau kerjakan.

MT

Saya membandingkan keserakahan kita, yang tak pernah ingin sedikitpun berkurang rizki kita meski
dalam rizki itu sebetulnya ada milik orang lain.

"Usia memang tidak menjamin kita menjadi Bijaksana, kitalah yang memilih untuk menjadi bijaksana atau
tidak"

Semoga pengalaman nyata ini mampu menggugah saya dan teman lainnya untuk lebih SUPER.

Thursday, February 14, 2008

Pagi yang Indah

Hari ini perjalanan dari rumah ke kantor (Cengkareng - Slipi) seperti biasa macet, jalanan becek, para pengendara yang tidak tertib baik itu motor, mobil dan angkutan umum tapi kenapa yah hari ini kok gw enak banget ngendarain motornya santai pokoknya menikmati banget perjalanan dari rumah ke kantor dan perasaan ini persis waktu touring sama club gw, menikmati selama diperjalanan menuju tempat tujuan.

Oh indahnya hari ini cuaca dingin, hati dingin tidak terpancing oleh provokasi dari para biker "usil" juga terprovokasi oleh keadaan jalan yang berlubang akibat hantaman banjir bulan lalu dan oleh lainnya. Mudah-mudahan setiap hari bisa merasakan perasaan hati yang seperti ini.